Pembangunan infrastruktur jalan tol yang masif, seperti Trans-Jawa dan Trans-Sumatera, telah secara fundamental mengubah cara orang Indonesia bepergian. Janji utamanya adalah memangkas waktu tempuh dan melancarkan logistik. Namun, di balik efisiensi tersebut, ada berbagai dampak—positif dan negatif—yang dirasakan langsung oleh para pengguna kendaraan.
Dampak positif yang paling nyata adalah efisiensi waktu dan biaya operasional kendaraan. Perjalanan darat antar kota yang dulu memakan waktu belasan jam kini bisa dipersingkat secara signifikan. Ini tidak hanya mengurangi kelelahan pengemudi tetapi juga menghemat bahan bakar dan mengurangi keausan komponen kendaraan karena kondisi jalan yang lebih mulus dibandingkan jalan nasional non-tol.
Namun, pembangunan tol juga melahirkan konsekuensi yang tak terduga. Salah satu yang paling disorot adalah “matinya” jalur-jalur legendaris seperti Pantai Utara (Pantura) Jawa. Restoran, warung oleh-oleh, dan hotel-hotel kecil yang dulu hidup dari para pelancong kini sepi pengunjung. Pengguna kendaraan kehilangan elemen petualangan dan wisata kuliner yang dulu menjadi bagian dari perjalanan.
Selain itu, budaya berkendara baru telah terbentuk. Rest area kini bukan lagi sekadar tempat istirahat, tapi telah menjadi destinasi tersendiri dengan fasilitas yang lengkap. Di sisi lain, kecepatan konstan di jalan tol menuntut fokus yang berbeda dan meningkatkan risiko kecelakaan akibat microsleep. Ketergantungan pada satu jalur utama juga membuat sistem menjadi rentan; satu kecelakaan di tol bisa menyebabkan kemacetan total selama berjam-jam.
Pada akhirnya, jalan tol adalah pedang bermata dua. Ia adalah akselerator kemajuan ekonomi dan konektivitas, tetapi juga menuntut adaptasi dari pengguna kendaraan dan masyarakat di sekitarnya. Keseimbangan antara kecepatan dan keberlanjutan ekonomi lokal di sepanjang rute lama menjadi tantangan yang harus dijawab.

 