Di era ekonomi digital, data adalah “minyak” baru. Setiap klik, transaksi, dan interaksi online menghasilkan data yang bernilai triliunan rupiah. Pertanyaan krusialnya adalah: di mana data masyarakat Indonesia disimpan? Selama ini, sebagian besar data tersebut disimpan di data center yang berlokasi di luar negeri, seperti Singapura atau Hong Kong.
Ketergantungan pada data center asing ini menciptakan kerentanan serius terhadap kedaulatan data. Data warga negara, yang mencakup informasi finansial, kesehatan, dan pribadi, secara fisik berada di bawah yurisdiksi negara lain. Hal ini membuka risiko penyalahgunaan data, spionase, dan ketidakmampuan pemerintah untuk menegakkan hukumnya sendiri.
Pembangunan data center di dalam negeri, yang didorong oleh regulasi seperti PP 71/2019, adalah langkah strategis untuk menegakkan kedaulatan. Dengan data yang “pulang kampung”, pemerintah memiliki kendali penuh atas akses dan keamanannya. Ini juga krusial untuk melindungi infrastruktur digital kritis dari ancaman siber dan geopolitik global.
Secara ekonomi, kehadiran data center berskala besar (hyperscale) di Indonesia membawa efek ganda. Ia menurunkan latensi (kecepatan akses data), yang vital bagi layanan seperti e-commerce dan fintech. Selain itu, ia menciptakan ekosistem industri baru, menyerap tenaga kerja ahli IT, dan mendorong pertumbuhan penyedia cloud lokal.
Namun, membangun data center di Indonesia bukanlah tanpa tantangan. Infrastruktur ini membutuhkan pasokan listrik yang stabil dan masif, serta konektivitas internet super cepat. Pemerintah harus memastikan ketersediaan energi bersih dan infrastruktur pendukung untuk menjadikan Indonesia sebagai hub data center yang kompetitif di Asia Tenggara, bukan sekadar pasar.

 