0
0
Generasi Z tumbuh di era digital penuh tekanan. Media sosial, persaingan akademik, dan ketidakpastian masa depan menciptakan beban mental yang semakin berat. Banyak studi menyebut bahwa kesehatan mental remaja global kini dalam kondisi krisis.
Remaja di seluruh dunia menghadapi tantangan unik. Di negara maju, tekanan akademik dan ekspektasi sosial membuat angka depresi meningkat. Sementara di negara berkembang, kemiskinan, konflik, dan kurangnya akses kesehatan mental memperburuk situasi. Dampaknya, kasus bunuh diri remaja terus meningkat dalam satu dekade terakhir.
Media sosial menjadi faktor utama. Tekanan untuk tampil sempurna, cyberbullying, serta kecanduan konten membuat remaja mudah cemas dan kehilangan rasa percaya diri. Algoritma yang memperkuat konten negatif sering kali memperburuk kesehatan mental.
Selain itu, pandemi COVID-19 meninggalkan luka mendalam. Isolasi sosial, sekolah daring, dan kehilangan orang terdekat membuat banyak remaja mengalami trauma. Meski pandemi mereda, dampaknya masih terasa hingga sekarang.
Beberapa negara mulai menganggap kesehatan mental sebagai prioritas. Program konseling di sekolah, kampanye publik, hingga aplikasi kesehatan mental berbasis AI mulai digalakkan. Namun, stigma terhadap gangguan mental masih kuat, membuat banyak remaja enggan mencari bantuan.
Jika dibiarkan, krisis kesehatan mental remaja bisa menjadi bom waktu. Generasi Z yang seharusnya menjadi tulang punggung masa depan bisa kehilangan potensi karena terjebak masalah psikologis.
Di sisi lain, kesadaran generasi ini juga tinggi. Banyak remaja yang lebih terbuka membicarakan kesehatan mental, saling mendukung lewat komunitas online, dan menuntut perubahan kebijakan.
Apakah Generasi Z dalam krisis? Ya, tetapi krisis ini juga bisa jadi momentum global untuk mengubah cara kita melihat kesehatan mental, dari isu tabu menjadi bagian penting dari kesejahteraan manusia.
